Jumat, 03 Mei 2013

Sepatu Butut Bapak


Entah apa yang dipikirkan bapakku saat akan membagikan warisan. Dalam bayanganku bapak akan mewarisiku rumah, mobil antiknya, atau minimal kebun singkong di samping rumah. Ternyata aku salah. Bapak hanya mewarisiku sepasang sepatu, sepatu butut lebih tepatnya.
“Mas, apa aku bukan anak kandung bapak?”. Tanyaku kepada kakakku.
“Hush! Jangan ngawur kamu.” Mas Galang sedikit meradang mendengar pertanyaanku.
“Kalau aku anak kandung, lalu kenapa bapak hanya memberiku sepasang sepatu butut? Padahal aku ini anak bungsu. Paling tidak aku mendapatkan rumah inilah. Aku kecewa kepada Bapak.” Aku bersungut-sungut.
“Bapak pasti punya rencana lain untukmu,” ucap Mas Gani dengan nada bijaksana.
“Rencana apa? Rencana untuk membuat hidupku sengsara?!”.  Aku segera masuk ke kamar dan membanting pintu.
Kukemasi baju-bajuku dan kumasukkan ke dalam tas ransel. Kupandangi sejenak sepatu warisan bapak di sudut kamar, dengan kesal kujejalkan pula ke dalam tas ransel.
“Kamu mau ke mana?” tanya Mas Gani yang melihatku keluar kamar membawa tas ransel.
“Aku mau pergi, ini bukan rumahku.”
“Meskipun rumah ini tidak diwariskan untukmu, bukan berarti kamu tak boleh tinggal di sini.” Mas Farid yang dari tadi diam akhirnya buka suara.
“Sudahlah, biarkan Fatur pergi, biar dia mencari jalannya,” ucap Mas Galang, kakak tertuaku.
                                                                   ***
Sudah tiga bulan aku meninggalkan rumah, kembali ke kamar kost semasa kuliah dulu. Meskipun tak di rumah, aku selalu mendapati rekeningku tak pernah kosong. Pastilah Mas Galang, Mas Gani, atau Mas Farid yang mengisinya. Tapi demi harga diri, aku tak pernah menggunakan uang itu.
Protesku karena warisan sepatu butut itu bukan berarti aku anak durhaka dan matre. Sama sekali bukan. Tapi ini soal keadilan. Semua kakakku mendapatkan warisan yang layak, kenapa aku hanya mendapat sepatu butut sialan itu?
Terkadang aku meratapi nasib sebagai anak bungsu di keluargaku. Anak terkecil dari empat bersaudara yang semuanya adalah laki-laki. Mas Galang dan Mas Gani sudah berkeluarga, sedangkan Mas Farid sedang menyelesaikan S2-nya.
Ketiga kakakku mempunyai analisa yang tajam dalam hal bisnis. Kenapa aku bisa mengatakan itu, karena selama Bapak sakit, bisnis furniture keluarga kami memang dijalankan oleh ketiga kakakku. Sedangkan aku lebih suka bertualang, menyusuri tempat-tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru. Dari keempat anak Bapak, bisa dibilang hanya aku yang paling nyeleneh, tak mau masuk ke jurusan manajemen bisnis, ekonomi, dan semacamnya. Aku lebih suka memilih jurusan seni. Mungkin karena itu pula Bapak balas dendam padaku hingga hanya memberiku warisan sepasang sepatu butut.
Teringat kembali masa kecilku dulu, saat usaha Bapak belum sesukses sekarang. Setiap pagi Bapak selalu mengelus-elus sepatu yang kini ia wariskan padaku.
Ini sepatu Bung Hatta, proklamator Indonesia.” Mata Bapak selalu berbinar ketika mengucapkan itu.
Setelahnya, Bapak pun akan bercerita tentang sejarah hidupnya saat kecil dulu. Bapak adalah tetangga Bung Hatta, dan Bapak bangga menjadi tetangga seorang pahlawan bangsa. Tiap hari Bapak yang masih kecil sering lewat di depan rumah Bung Hatta, mengintip dari balik pagar hanya untuk melihat sosok Bung Hatta hingga pernah suatu ketika Bapak disangka mata-mata Belanda. Tapi karena kejadian itulah, Bapak akhirnya diminta Bung Hatta untuk bekerja di rumahnya, membuatkan minum untuk tamu-tamu penting Bung Hatta.
Saat kecil dulu aku sangat bangga dengan cerita Bapak, bahkan aku pun sering menceritakan kisah Bapak pada teman-temanku. Namun, semuanya berbeda saat aku beranjak dewasa. Aku rasa semua cerita Bapak hanya rekaan belaka. Aku tak pernah melihat foto Bapak bersama Bung Hatta, yang ada hanya sepatu butut, yang menurut Bapak hadiah dari Bung Hatta dan kini diwariskannya padaku.
“Kamu harus jadi seperti Bung Hatta,” ucap Bapak suatu hari saat aku duduk di kelas 5.
“Aku mau jadi Pangeran Diponegoro, Pak. Pangeran Diponegoro bisa naik kuda,” ucapku yang memang baru mendapatkan pelajaran tentang perang Diponegoro di sekolah. Bapak tersenyum mendengar jawabanku.
Aku juga tak tahu, kenapa Bapak begitu mengidolakan Bung Hatta, bukan Bung Karno, Pangeran Diponegoro, Pattimura, atau RA. Kartini. Saat Ibu masih hidup, aku pernah bertanya pada Ibu apa alasan Bapak mengidolakan Bung Hatta. Namun Ibu hanya menggeleng. Ibu hanya bercerita saat Bapak melamar Ibu, Bapak datang dengan setelan jas putihnya dan pantalon putih, mirip Bung Hatta.
Sebenarnya Bapak adalah sosok kepala keluarga yang baik. Tak hanya itu, Bapak juga seorang yang selalu memikirkan kepentingan orang lain. Pernah suatu ketika Bapak meminta Ibu untuk menjual cincin emas miliknya.
“Cincin ini untuk biaya sekolah anak-anak, Pak,” . ucap Ibu.
“Untuk anak-anak nanti kita bisa cari lagi, tapi untuk operasi anak Pak Kardi kita tak bisa menunggu.” Mendengar ucapan Bapak, akhirnya Ibu pun merelakan cincin emasnya dijual untuk biaya operasi usus buntu anak Pak Kardi.
Entah apa yang dipikirkan Bapak saat itu. Usaha furniturenya masih jalan di tempat, jauh dari kata sukses, namun Bapak tanpa pikir panjang menyerahkan cincin emas milik Ibu untuk biaya rumah sakit anak Pak Kardi, tetangga kami. Bapak memang seseorang yang baik dan selalu memikirkan orang lain. Ah, tiba-tiba aku rindu pada Bapak.
Apa yang sedang kau lakukan di surga, Pak?” gumamku. Mataku tiba-tiba basah, segera kuambil sepasang sepatu yang masih berjejal di dalam tas ranselku.
Lama kupandangi sepatu itu, sepatu kulit warna hitam. Meskipun di beberapa bagian sudah mengelupas, namun masih terlihat layak pakai, menandakan sang pemilik selalu merawatnya. Kumasukkan kakiku ke dalamnya, dan ternyata Passs. Namun tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menghimpit ujung kaki kananku. Segera kulepas sepatu itu dan kukeluarkan benda yang terjepit di dalam sepatu. Sebuah kertas yang terlipat.
Kubuka lipatan kertas di tanganku, ada goresan pena di sana. Sebuah alamat di wilayah Bandung selatan. Aku tak tahu kenapa aku di sini sekarang, di depan sebuah pagar pabrik. Entah kenapa hatiku berkata jika aku harus datang ke sebuah alamat yang kutemukan di dalam sepatu Bapak. Alamat ini pastilah penting untuk Bapak. Sekali lagi kubaca sebuah nama yang tertulis di atas alamat: Soemarno.
Kuhampiri pos satpam di samping pagar, “Siang, Pak. Maaf, apa di sini ada yang bernama Pak Soemarno?”
“Pak Soemarno?” ditanya seperti itu aku pun mengangguk.
“Nama Bapak siapa?” Setelah aku menyebutkan nama dan asalku, satpam itu pun menelpon seseorang. Tak berapa lama, Satpam itu pun mengajakku masuk ke dalam area pabrik, hingga kami pun berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan: Direktur H. Soemarno, M.M
“Silakan masuk, Pak Soemarno sudah menunggu.” Aku pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum satpam itu pergi.
Ragu-ragu kuketuk pintu dan masuk. Aku terpana sejenak dengan ruangan yang ada di hadapanku. Seperti mengalami dejavu, aku pernah datang ke ruangan ini sebelumnya. Ya, benar, aku pernah datang ke ruangan ini, tapi bukan di sini melainkan di rumahku. Ruangan ini sangat mirip dengan ruangan kerja Bapak di rumah. Tak hanya ornamennya, maupun peletakan meja dan almari, bahkan di ruangan ini pun terdapat sebuah lukisan Bung Hatta berukuran besar yang tergantung di dinding, sama dengan milik Bapak.
“Akhirnya kamu datang juga, Fatur.” Seorang lelaki seumuran Bapak menghampiriku dan menyalamiku, pasti dia adalah Pak Soemarno.
“Bapak mengenal saya?” tanyaku.
“Kamu pasti lupa denganku. Dulu aku pernah datang ke rumahmu saat kamu masih kecil.” Aku pun mengangguk-angguk kecil meskipun sebenarnya aku tak ingat sama sekali.
“Aku turut berduka cita atas meninggalnya bapakmu.” Ucap Bapak itu.
“Terima kasih, Pak.”
“Aku sangat kehilangan Bapakmu, dia adalah salah satu orang terhebat yang pernah kukenal. Karena Bapakmu lah, aku bisa seperti sekarang. Dia adalah pahlawan, dia seperti Bung Hatta, dia ingin membangun negara ini dengan perbuatannya.”
“Kamu pasti sering dengar cerita Bapakmu saat ia tinggal di rumah Bung Hatta.” Aku mengangguk.
“Ada satu nasihat Bung Hatta yang menjadi landasan semangatnya: ‘Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan. Dan perbuatan itu adalah perbuatanku’. Karena itulah Bapakmu membangun pabrik sepatu ini.”
Maksud Pak Soemarno?”
“Ya, pabrik sepatu ini adalah milik Bapakmu. Saat tinggal di rumah Bung Hatta dulu, Bapakmu pernah menemukan guntingan iklan sepatu Bally yang disimpan oleh Bung Hatta. Sepatu Bally adalah jenis sepatu merk terkenal zaman dulu. Bung Hatta menyimpan guntingan iklan sepatu Bally karena beliau sangat ingin memilikinya. Namun uang yang dikumpulkan Bung Hatta tak pernah cukup, karena selalu habis untuk kebutuhan rumah tangga dan membantu orang-orang di sekitarnya.”
“Bung Hatta tak pernah mau menggunakan kekuasaannya sebagai wakil presiden untuk mendapatkan sepatu Bally itu, hingga sampai akhir hayatnya Bung Hatta tak bisa mendapatkan sepatu idamannya. Itulah yang memacu Bapakmu ingin membuat sepatu yang murah tapi berkualitas dan bisa digunakan oleh semua orang. Bapakmu ingin agar sepatu Indonesia pun menjadi idaman orang-orang luar negeri.”
“Jadi benar Bapak pernah tinggal di rumah Bung Hatta? Bapak juga tak pernah bercerita jika beliau punya pabrik sepatu.” Pak Soemarno tersenyum mendengar ucapanku.
“Tentu saja benar, apa kamu pikir bapakmu berbohong? Bapakmu memang penuh kejutan, ia pun melarangku untuk memberitahu keluargamu tentang pabrik sepatu ini. Aku juga tak tahu alasannya.”
“Bapakmu menyerahkan pabrik ini padaku, katanya suatu saat akan ada penerusnya yang akan datang ke sini. Sekarang penerusnya telah datang, dan kini saatnya aku menyerahkan pabrik ini padamu.”
Aku mencerna kalimat Pak Soemarno. Aku masih menata pikiranku, sebuah kejutan yang tak pernah aku duga: tentang Bung Hatta, Bapak, dan kini pabrik sepatu.
Pak Soemarno mengeluarkan sebuah map dari dalam laci meja kerjanya. “Sekarang aku serahkan pabrik sepatu ini padamu, ini hakmu.” Aku menerima map itu, di dalamnya tersimpan semua berkas kepemilikan pabrik sepatu ini. Pabrik sepatu dengan merk “Hatta”.
Mataku seketika kabur, ada air mata yang menggenang dan hendak jatuh. Aku si bungsu yang hanya mendapat warisan sepasang sepatu butut kini menjadi pemilik pabrik sepatu dengan aset milyaran rupiah.
Kupandangi lukisan Bung Hatta yang tergantung di dinding. Setelah dua puluh enam tahun aku hidup, kini baru kusadari jika wajah Bapak sangat mirip dengan wajah Bung Hatta.


    Selesai.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar